Sabtu, 23 Februari 2013
Selasa, 15 Januari 2013
Upacara perkawinan adat pengantin Jawa
sebenarnya bersumber dari tradisi keraton. Bersamaan dengan itu lahir
pula seni tata rias pengantin dan model busana pengantin yang aneka
ragam. Seiring perkembangan zaman, adat istiadat perkawinan tersebut,
lambat laun bergerak keluar tembok keraton. Sekalipun sudah dianggap
milik masyarakat, tapi masih banyak calon pengantin yang ragu-ragu
memakai busana pengantin basahan (bahu terbuka) yang konon hanya
diperkenankan bagi mereka yang berkerabat dengan keraton.
Pada
dasarnya banyak persamaan yang menyangkut upacara perkawinan maupun
tata rias serta busana kebesaran yang dipakai keraton Yogyakarta,
Surakarta dan mengkunegara. Perbedaan yang ada bisa dikatakan merupakan
identitas masing-masing yang menonjolkan ciri khusus, dan itu justru
memperkaya khasanah budaya bangsa kita. Bertolak dari kenyataan
tersebut, sudah sering diselenggarakan sarahsehan yang berkenan dengan
adat istiadat perkawinan oleh kerabat keraton, agar masyarakat merasa
mantap mendandani calon pengantin dengan gaya keraton, sekaligus agar
tidak terjadi kekeliruan dalam penerapannya. Kali ini PENGANTIN
menampilkan rangkaian upacara adat Pengantin Jawa.
Serah-Serahan
Setelah
dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang
perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau
disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon
mempelai putra menyerahkan barang-barang tertntu kepada calon mempelai
putri sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa
pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat
keperluan 'tukar cincin'.
Saat-saat
menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan 'pingitan'
atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan
selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri
dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai
putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan
dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti,
mempelai putri tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang
menyaksikannya.
Pasang Bleketepe/ Tarup
Upacara
pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman daun
kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai
pula dengan pengadaan sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang
dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan
khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara
berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri
dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang memiliki
nilai-nilai simbolik.
Makna
upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan diri
lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing.
Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan
yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7
sumur, kendi dan bokor.
Orangtua
calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan ke
wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7
gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke
kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman
kepada orangtua calon pengantin serta para pini sepuh.
Siraman
dilakukan pertama kali oleh orangtua calon pengantin, dilanjutkan oleh
para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai mempelai putri,
menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari
mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah pamornya").
Paes/ Ngerik
Setelah
siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah
diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap
'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada
saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri,
ditunggui oleh para ibu pini sepuh.
Sembari
menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar
dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga
kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat
rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.
Dodol Dawet
Prosesi
ini melambangkan agar dalam upacara pernikahan yang akan
dilangsungkan, diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang
laris terjual. dalam upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak
sebagai penjual dawet, didampingi dan dipayungi oleh bapak calon
mempelai putri, sambil mengucapkan : "Laris...laris". 'Jual dawet' ini
dilakukan dihalaman rumah. Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan
pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya
adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang' (menyuapi)
untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan dengan
melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat
'ayam lancur' dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol
melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara
berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang
tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem
sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang
dan dapat meraih kebahagiaan.
Ini
adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara
sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap
upacara di kediaman calon mempelai putri. Tahap pertama, upacara
'nyantrik', untuk meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada
upacara pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon
mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta
kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap
kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap
melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya.
Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana
layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai
putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat
persiapan upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan
kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk
mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan
selamat.
Pernikahan
Pernikahan,
merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si
calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di
masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan
Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketiga
pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai
keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara
adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.
Panggih (Temu)
Sudah
menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan
hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah.
Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa
'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk
selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu
mertua sebagai penebus.
Upacara
dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa
yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu
kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai
penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara,
kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna
bahwa setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di
daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih' atau
'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra, yang
berlangsung sebagai berikut :
Balangan gantal/ Sirih
Mempelai
putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak
lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan
sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra
diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri
mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih
suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada
sang suami.
Wijik
Mempelai
putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh
kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian
dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri
kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa
memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah
wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di
rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada
mempelai putra.
Pupuk
Ibu
mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali
dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas
terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.
Prosesi
ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak kedua
mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai
putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan
gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari
belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan
betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh
kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.
Bobot Timbang
Kedua
mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada
dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini
disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi
bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote,"
("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih
sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya.
Guno Koyo - Kacar-kucur
Pemberian
'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang
pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah,
keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh
didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan
mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau
sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh
mempelai putri dan disimpan.
Sumber : infopengantin.blogspot.com
Senin, 14 Januari 2013
Warna
Prosesi Pernikahan adat Minang memiliki pola yang unik dengan unsur tradisional yang kental, Perlaminan yang dihiasi khas Minang ala Lubuk Jantan bertaburkan kain yang bersulamkan benang emas sungguh berkilau dan warna yang mendominasi adalah hitam. Warna berkelas yang melambangkan warna khas atau cirri kalangan Datuk.
Cara duduk kedua mempelai
Perlaminan Tempat duduk kedua mempelai bukanlah diatas kursi. Yang memiliki arti yang menggambarkan kesamaan derajat diantara semua orang, jadi kedua mempelai duduk tanpa bangku dengan bersimpuh dan bersila.
Pernak - pernik Perlaminan
Didepan pelaminan disebelah kiri dan kanan ada sepasang setajuak yang berjumlah sebelas, semua itu mewakili asal keluarga pengantin dari kalangan bangsawan. Kaki setajuak adalah ketan kuning dan satu lagi berisi sirih, kapur dan pinang dibungkus saputangan bersulam benang emas. Juga terdapat sepasang jamba gadang yang di tutup saputangan bersulam emas. Salah satu jamba gadang tersebut berisi ketan kuning, ketan putih, ketam hitam dan paniaram. Sedangkan yang lain berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Prosesi penerimaan kedatangan pengantin pria
Dalam prosesi mengisahkan, bahwa pengantin pria telah melakukan ijab Kabul pada hari jum'at setelah sholat Jum'at di Mesjid. Seperti pernikahan secara Islam pada umumnya, anak daro saat itu belum bertemu dengan marapulai. Setelah Ijab Kabul selesai di Mesjid, Marapulai diantar oleh orang tua dan keluarga mendatangi anak daro dirumahnya. Kedatangan marapulai dirumah anak daro ini disambut dengan tari gelombang, pepatah petitih dan tari persembahan yang semua menandakan bahwa marapulai diterima oleh keluarga anak daro.
Selanjutnya dengan mencuci kaki yang dilaksanakan oleh ibu anak daro, ritual ini menandakan bahwa marapulai diterima dengan iklas lahir batin oleh keluarga anak daro. Bila ada perselisihan dan pertengkaran diantara kedua keluarga tersebut, maka selesai sampai di situ saja dan kini kedua keluarga sudah menyatu.
Membangun keluarga baru
Kemudian sang marapulai berjalan diatas kain putih yang langsung digulung karena tidak boleh diinjak oleh siapapun selain marapulai. Ritual ini memiliki arti mempelai membangun keluarga baru yang tidak akan diganggu oleh siapapun. Kemudian kedua mempelai didudukan diatas pelaminan.
Upacara makan
Setelah itu pasangan tersebut di suguhi makanan ketan berwarna warni yang berada dihadapan marapulai dan anak daro. Masing-masing memilih ketan tersebut. Ternyata sang marapulai memilih ketan hitam, yang memiliki arti perannya sebagai pelindung dan kepala keluarga sedangkan anak daro memilih ketan putih yang berarti bahwa sebelumnya anak daro belum pernah menikah. Tidak ada acara saling menyuapi, dalam adat Minang mempelai masing-masing mengambil sendiri hidangan pilihannya.
Perjamuan
Para undangan yang hadir disuguhi hiburan berupa tari piring dan dijamu dengan makanan khas Minangkabau. Dibagian samping kiri dan kanan pelaminan di gelar sepra (kain putih) tempat menjamu para undangan. Jamuan berupa kue dan makanan tradisional Minangkabau seperti lamang, tapai, lapek krucut, kolak diisikan pada piring-piring kecil. Dan terdapat cirano yang berisi makanan, merupakan persembahan bagi datuk desa lain.
Perlengkapan
Beberapa perlengkapan yang dipakai pada prosesi pernikahan adat minang ini adalah sebuah keris pusaka minang untuk dikenakan marapulai, kain untuk ikat pinggang datuk yang dikenakan marapulai, tongkat khas minang yang di gunakan kedua ayah mempelai, hiasan kepala marapulai dan beberapa kalung tua untuk dikenakan pendamping dan ibu mempelai.
Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki( semacam permainan catur lambang keluluhan ego tercipta kemesraan) Daerah minangkabau terletak disebelah barat pulau sumatera (J.M)
Prosesi Pernikahan adat Minang memiliki pola yang unik dengan unsur tradisional yang kental, Perlaminan yang dihiasi khas Minang ala Lubuk Jantan bertaburkan kain yang bersulamkan benang emas sungguh berkilau dan warna yang mendominasi adalah hitam. Warna berkelas yang melambangkan warna khas atau cirri kalangan Datuk.
Cara duduk kedua mempelai
Perlaminan Tempat duduk kedua mempelai bukanlah diatas kursi. Yang memiliki arti yang menggambarkan kesamaan derajat diantara semua orang, jadi kedua mempelai duduk tanpa bangku dengan bersimpuh dan bersila.
Pernak - pernik Perlaminan
Didepan pelaminan disebelah kiri dan kanan ada sepasang setajuak yang berjumlah sebelas, semua itu mewakili asal keluarga pengantin dari kalangan bangsawan. Kaki setajuak adalah ketan kuning dan satu lagi berisi sirih, kapur dan pinang dibungkus saputangan bersulam benang emas. Juga terdapat sepasang jamba gadang yang di tutup saputangan bersulam emas. Salah satu jamba gadang tersebut berisi ketan kuning, ketan putih, ketam hitam dan paniaram. Sedangkan yang lain berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Prosesi penerimaan kedatangan pengantin pria
Dalam prosesi mengisahkan, bahwa pengantin pria telah melakukan ijab Kabul pada hari jum'at setelah sholat Jum'at di Mesjid. Seperti pernikahan secara Islam pada umumnya, anak daro saat itu belum bertemu dengan marapulai. Setelah Ijab Kabul selesai di Mesjid, Marapulai diantar oleh orang tua dan keluarga mendatangi anak daro dirumahnya. Kedatangan marapulai dirumah anak daro ini disambut dengan tari gelombang, pepatah petitih dan tari persembahan yang semua menandakan bahwa marapulai diterima oleh keluarga anak daro.
Selanjutnya dengan mencuci kaki yang dilaksanakan oleh ibu anak daro, ritual ini menandakan bahwa marapulai diterima dengan iklas lahir batin oleh keluarga anak daro. Bila ada perselisihan dan pertengkaran diantara kedua keluarga tersebut, maka selesai sampai di situ saja dan kini kedua keluarga sudah menyatu.
Membangun keluarga baru
Kemudian sang marapulai berjalan diatas kain putih yang langsung digulung karena tidak boleh diinjak oleh siapapun selain marapulai. Ritual ini memiliki arti mempelai membangun keluarga baru yang tidak akan diganggu oleh siapapun. Kemudian kedua mempelai didudukan diatas pelaminan.
Upacara makan
Setelah itu pasangan tersebut di suguhi makanan ketan berwarna warni yang berada dihadapan marapulai dan anak daro. Masing-masing memilih ketan tersebut. Ternyata sang marapulai memilih ketan hitam, yang memiliki arti perannya sebagai pelindung dan kepala keluarga sedangkan anak daro memilih ketan putih yang berarti bahwa sebelumnya anak daro belum pernah menikah. Tidak ada acara saling menyuapi, dalam adat Minang mempelai masing-masing mengambil sendiri hidangan pilihannya.
Perjamuan
Para undangan yang hadir disuguhi hiburan berupa tari piring dan dijamu dengan makanan khas Minangkabau. Dibagian samping kiri dan kanan pelaminan di gelar sepra (kain putih) tempat menjamu para undangan. Jamuan berupa kue dan makanan tradisional Minangkabau seperti lamang, tapai, lapek krucut, kolak diisikan pada piring-piring kecil. Dan terdapat cirano yang berisi makanan, merupakan persembahan bagi datuk desa lain.
Perlengkapan
Beberapa perlengkapan yang dipakai pada prosesi pernikahan adat minang ini adalah sebuah keris pusaka minang untuk dikenakan marapulai, kain untuk ikat pinggang datuk yang dikenakan marapulai, tongkat khas minang yang di gunakan kedua ayah mempelai, hiasan kepala marapulai dan beberapa kalung tua untuk dikenakan pendamping dan ibu mempelai.
Ada lima acara adat Minang yang lazim dilaksanakan seusai akad nikah. Yaitu memulang tanda, mengumumkan gelar pengantin pria, mengadu kening, mengeruk nasi kuning dan bermain coki( semacam permainan catur lambang keluluhan ego tercipta kemesraan) Daerah minangkabau terletak disebelah barat pulau sumatera (J.M)
Categories: Adat Minang, Artikel
Stelsel matrilineal dengan system kehidupan yang komunal, menempatkan perkawinan menjadi urusan kerabat, mulai dari :
a. Urusan mencari pasangan – manyalangkan mato – maresek,
b. Membuat persetujuan dan pelamaran – pinang meminang,
c. Pertunangan – batimbang tando
d. Perhelatan perkawinan – baralek
e. Hasil perkawinan – system kekerabatan.
Hal ini didasarkan kepada falsafah Minang yang menganggap bahwa manusia dan individu hidup bersama-sama, sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Masalah pribadi sepasang anak manusia yang akan membangun mahligai rumah tangga tidak terlepas dari pengelolaan secara bersama.
Pola perkawinan bersifat eksogami, dimana persatuan sepasang suami dan isteri tidak menjadi lebur dalam satu rumah tangga akan tetapi masing-masing pasangan suami isteri itu tetap berada dalam kaum kerabatnya masing-masing. Didalam struktur eksogami, setiap orang adalah warga kaum dan suku mereka masing-masing, meskipun telah diikat dalam perkawinan dan telah beranak pinak pula.
Dalam stelsel matrilini, anak yang lahir akibat perkawinan menjadi anggota kaum sang ibu. Mengapa demikian ? karena secara kodrat alam, kelahiran makhluk didunia ini mengacu pada induknya.
Seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab kepada kehidupan anaknya, karena telah ada saudara laki-laki ibunya yang akan membimbingnya dalam kehidupan masa depannya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi perkawinan eksogami yang serupa ini. Tidakkah terjadi sengketa rumah tangga dalam kehidupan serupa ini. Sekilas kehidupan serupa ini menunjukkan perkawinan yang semu. Namun sesungguhnya tidak…! Karena kehidupan perkawinan yang bersifat eksogami ini, ternyata mampu mempertahankan keharmonisan rumah tangga, yang disebabkan bahwa perkawinan dalam adat dan budaya Minang adalah perkawinan keluarga. Perkawinan itu memiliki tata dan cara yang sesuai dengan falsafah yang dianutnya.
Perkawinan eksogami meletakkan para isteri pada status yang sama dengan suaminya. Seorang wanita Minang ditengah system matriarkal serta pola hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Seorang suami adalah tamu dirumah keluarga isterinya, ia dimanja dan dihormati, namun ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan isterinya. Jika ia ingin disanjung dan dihormati, maka seorang suami harus pandai-padai menyesuaikan diri dikeluarga isterinya.
Perkawinan Ideal
Perkawinan ideal dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan ini lazim disebut ;
a. perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang kebako, yaitu mengawini kemenakan ayah.
Perkawinan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengawetkan hubungan suami isteri itu agar tidak terganggu dengan permasalahan yang mungkin timbul, karena adanya ketidak serasian antar kerabat. Ekses-ekses yang timbul didalam keluarga yang berkaitan dengan harta pusaka dapat dihindarkan.
Pola perkawinan serupa ini, merupakan manifestasi dari pepatah yang berbunyi ; anak dipangku- kemenakan dibimbing.
b. Perkawinan ambil mengambil; artinya kakak beradik laki-laki dan wanita A menikah secara bersilang dengan kakak – beradik wanita B.
Tujuan perkawinan ambil mengambil ini, ialah untuk mempererat hubungan kekerabatan ipar besan, juga untuk memperoleh suami yang pantas bagi anak kemenakan, tanpa perlu menyelidiki asal usul calon pasangan suami isteri itu.
c. Perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong, sekampung, se nagari atau se minangkabau.
Perkawinan seperti ini dikatakan ideal karena untuk mengukuhkan lembaga perkawinan itu, dimana sesungguhnya struktur perkawinan yang eksogami ini, lebih mudah rapuh karena seorang suami tidak memiliki beban dan tanggung jawab kepada anak dan isterinya. Lain halnya jika pola awak samo awak, maka tambah dekat hubungan awaknya, tambah kukuhlah hubungan perkawinan itu.
Perkawinan yang kurang ideal ialah apabila salah satu pasangan berasal dari Non minang khususnya dengan wanita non minang. Pria minang yang menikah seperti ini , dianggap merusak struktur adat Minang, karena ;
a. anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, bukanlah suku Minangkabau.
b. Anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi pria minang itu, karena seorang pria minang bertugas demi kepentingan bagi sanak saudaranya, kaumnya, dan nagarinya.
c. Kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh keluarganya.
Perkawinan Pantang
Pantangan perkawinan ini telah bersifat universal, dimana pun terjadi, misalnya perkawinan pantang dan perkawinan sumbang, yaitu :
a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka, yaitu perkawinan yang setali darah menurut stelsel matrilini.
b. Perkawinan sumbang, ialah perkawinan yang dapat merusak kerukunan social masyarakat, yaitu :
1. mengawini kaum kerabat, saudara dekat, tetangga yang telah diceraikan,
2. memper-madukan wanita sekerabat,
3. mengawini orang yang tengah dalam pertunangan.
4. Mengawini anak tiri saudara kandungnya.
Sanksi terhadap perkawinan pantang;
a. membubarkanperkawinan,
b. hukum buang, diusir, dikucilkan,
c. hukuman denda dan meminta maaf kepada semua pihak melalui suatu perjamuan dengan memotong seekor dua ekor ternak.
Ragam Perkawinan
Dalam proses terjadi perkawinan, terdapat aneka ragam perkawinan yang berlangsung pada kehidupan masyarakat, yaitu :
a. Perkawinan ganti lapik :
Perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki atau wanita yang pasangan diantara keduanya telah meninggal dunia. Baik laki-laki maupun wanita yang akan dinikahkan itu, merupakan saudara laki-laki/saudara wanita itu yang telah meninggal dunia itu.
Maksudnya demi keberlangsungan persaudaraan antara kerabat pasangan suami isteri itu sebelumnya dengan anak keturunannya. Sehingga sang anak tidak merasa memiliki ayah atau ibu tiri orang lain.
b. perkawinan cino buto :
perkawinan ini unik sekali, karena sepasang suami isteri yang telah tiga kali kawin cerai diperbolehkan menikah kembali dengan suaminya atau isterinya, apabila si janda telah menikah dengan laki-laki lain lebih dahulu.
Ragam perkawinan serupa ini, tidak lain sebagai praktek yang dilakukan menurut perintah agama, namun apakah dalam kenyataan ini memang ada, wallahu alam.
Tata Laksana Perkawinan
Di Ranah Minang, terdapat dua tatacara pelaksanaan perkawinan :
a. Perkawinan menurut agama (syara`). Mengucapkan akad nikah dihadapan kadhi.
Ketika tatacara menurut agama sudah diselenggarakan, sepasang suami isteri belumlah diperbolehkan hidup serumah tangga, apabila mereka belum melakukan pernikahan secara adat yang dikenal dengan “ baralek “.
Pada saat ini mereka melakukan “ kawin gantung atau nikah ganggang” ini, kedua pasangan suami isteri belum diperbolehkan untuk bergaul dalam satu rumah tangga.
b. perkawinan menurut adat, apabila telah dilakukan acara “ baralek” yaitu perjamuan dengan mengundang seluruh kedua anggota kerabat pasangan suami isteri itu.
Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan
Jika dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan lebih berat pada pihak perempuan. Oleh karena itulah mereka menjadi pemprakarsa dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Mulai mencari jodoh, meminang, menyelenggaranakan perkawinan, lalu mengurus dan menyediakan segala keperluan untuk membentuk rumah tangga sampai memikul segala yang ditimbulkan dalam perkawinan itu. Mengapa demikian pentingnya keterlibatan kerabat dalam suatu perkawinan disebabkan antara lain :
Perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi seorang gadis yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga. Bila ia dianggap telah dewasa (“gadih gadang), maka merupakan kewajiban dari orang tua dan ninik mamak mencarikan jodohnya. Sebab jika seorang gadis, dibiarkan tidak bersuami, maka menimbulkan aib bagi kerabat yang bersangkutan. Tidak saja bagi kaumnya, gadis itupun akan menderita cacat lahir bathin. Mempunyai gadis gaek / perawan tua dalam rumah tangga merupakan aib yang akan menjadi beban sepanjang kerabat itu. Martabat keluarga menjadi jatuh karenanya.
Categories: Adat Minang, Artikel
UPACARA
|
PERLENGKAPAN&MAKNA
|
Malam Berinai
Tujuan
upacara ini dimaksudkan untuk menolak bala dan melindungi pasangan
pengantin dari marabahaya, termasuk bahaya yang kasat mata, menaikkan
aura dan cahaya pengantin wanita dan memunculkan wibawa pengantin
pria.
|
Berinai
yang dimaksud adalah memasang/memoleskan daun inai (daun pacar) yang
sudah digiling halus, terutama pada kuku jari tangan dan telapak
tangan jari kaki dan telapaknya samapi ke tumit.
|
Upacara Berandam
Upacara ini lazim dilakukan setelah
malam berinai yaitu keesokan harinya. Tujuannya untuk
menghapuskan/membersihkan sang calon pengantin dari ‘kotoran’ dunia
sehingga hatinya menjadi putih dan suci.
|
Berandam pada hakikatnya adalah melakukan pencukuran bulu roma pada wajah dan tengkuk calon pengantin wanita sekaligus juga membersihkan mukanya.
|
Akad Nikah
Biasanya upacara akad nikah ini dilakukan pada malam hari yang mengambil tempat di kediaman calon pengantin wanita.
|
Sebelum
berangkat ke rumah mempelai wanita, pengantin pria terlebih dahulu
ditepung tawari(diberi bedak dingin yang dibuat secara tradisional)
sebagai lambing hati yang sejuk, oleh keluarga dekat dan kerabat yang
dituai atau dihormati, kemudian meminta doa restu drai orangtua agar
akad nikahnya dapat berjalan lancar.
|
Makan Nasi Hadap-Hadapan
Upacara
ini dilakukan di depan pelaminan. Hidangan yang disajikan untuk
upacara ini dibuat dalam kemasan seindah mungkin. Yang boleh menyantap
hidangan ini selain kedua mempelai adalah keluarga terdekat dan
orang-orang yang dihormati.
|
Dalam
upacara ini juga biasanya lazim diadakan upacara pembasuhan tangan
pengantin laki-laki oleh pengantin wanita sebagai ungkapan pengabdian
seorang istri terhadap suaminya.
|
Menyembah Mertua
Upacara
ini dilakukan apabila di siang harinya kedua mempelai telah
disandingkan di pelaminan, maka pada malam harinya dilanjutkan dengan
acara menyembah pada mertua.
|
Pengantin
laki-laki dan wanita dengan diiringi oleh rombongan kerabat pengantin
wanita berkunjung ke rumah orangtua pengantin laki-laki denagn
membawa beraneka hidangan tertentu.
|
Bersiram Kumbo
Upacara
mandi damai ini sebagai tanda sebuah ungkapan rasa syukur atas
kelancaran keseluruhan rangkaian upacara perkawinan yang telah
mempersatukan dua insan menjadi pasangan suani istri yang sah.
|
Biasanya prosesi adapt ini dilakukan setelah kedua pengantin melangsungkan perkawinan selama tiga hari.
|
Sumber : bidakaraweddingexpo.com
Categories: Adat Melayu, Artikel
Langganan:
Postingan (Atom)